RSS Feed

kenalaken, kulo

Foto Saya
WICAKSONO AZ-ZAKY
Bastian Arif Wicaksana. Jawa asli.
Lihat profil lengkapku

Kamis, 09 April 2015

RADIO BUTUT SI KEBED

Malam yang hening di kampung saya.. "baratan" (angin muson barat) sudah lama berlalu. Bintang-bintang pun lebih sering menampakkan kerlipnya. Perahu-perahu bergoyang begitu pelannya memberi irama syahdu pada nyanyian sang malam. Beberapa manusia tampak menikmatinya sambil menebar jala di kejauhan sana. Sorot lampu mereka mengangguk-ngangguk tatkala tangan mereka memukulkan tongkat kayu ke air. "nyulo" memang harus begitu. Air dipukul untuk menakuti ikan-ikan agar lari ke jala yang sudah dipasang. Saya duduk di "mbayang" (sebutan untuk tempat tidur dari bambu) cukup menjadi penonton saja.

Tetangga saya, si Kebed, punya cara sendiri yang selalu dilakukannya di suasana seindah ini, menghisap rokok diiringi kotak radio butut yang menyala. Sudah sejak setelah sholat isya' tadi dia hanya rebahan memandang langit disampingku. Dan sekarang sudah hampir jam setengah 12 malam. Jiwanya telah terserap dalam setiap hisapan rokok dan ikut melayang bersama asapnya yang bergerak acak namun harmoni dengan alunan gending yang keluar dari radio bututnya.

Melihat kebed yang begitu menikmati keadaannya saat itu, saya tergoda untuk mengganggunya. Saya pun membisikkan pertanyaan ke telinganya dengan nada yang sedikit menggoda
"enak temen yo, ngrokok karo ngrungokno radio mbengi-mbengi..?"
(enak ya, ngrokok sambil ndengerin radio malem-malem)

Saya tidak berharap dia mau merespon gangguan saya tadi. Saya malah "mbatin" dalam hati betapa radio memang tidak pernah ada matinya. Mau semaju apapun teknologi saat ini, radio rasanya tidak pernah kehilangan penikmatnya. Di setiap hape selalu ada radionya. Mobil-mobil yang melaju seringkali dibarengi radio menyala didalamnya. Profesi menjadi penyiar pun masih menjadi profesi yang prestisius.

Seakan mendengar suara "mbatin" saya tadi, si kebed tiba-tiba bersuara mengagetkanku.
"yo penak toh cung..! Wong karek ngrungokno, kurang kepenak piye tah? Yo iku rahasiane radio iku gak onok matine.."
(ya enak lah, orang tinggal dengerin gimana gak enak? Itu rahasianya radio gak pernah ada matinya)

Dia menghisap rokokya dua kali lagi dan melanjutkan omongannya
 "radioku iki masiho elek, suarane gelek gerok, yo gak kiro tak buak. Radio iki ngajari aku supoyo aku iki belajar ngrungokno. Luweh sering ngrungokno. Ngrungokno opo wae. Sworo ombak moro, sworo angin baratan, sworo wong ngemplongi pas nyulo, sworo iwak tetet kenek pencing, sworo iwak dudut, sworone konco, sworone sedulur, sworone wong wedok, pko'e sembarang kalir macem e sworo. Nah, sing paling penting ngrungokno sworone awak dhewe. Duduk sworo sing metu teko lambe sing gampang nggawe loro ati lan nggarai wong liyo ngroso gak aman iki, duduk.. Tapi sworo seko njero sing asale seko Dzat sing ngecet lombok."
(radio saya ini meskipun jelek, suaranya sering serak, tidak akan pernah saya buang. Radio ini mengajari saya agar belajar mendengar. Lebih sering mendengar. Mendengarkan apapun. Suara ombak yang mendekat, suara angin barat, suara orang memukulkan tongkat saat menjala ikan malam-malam, suara ikan tetet kena pancing, suara ikan dudut, suara teman, suara saudara, suara istri, pokoknya segala macam suara. Dan yang paling penting mendengarkan suara diri sendiri. Bukan suara yang keluar dari mulut yang lebih sering membuat orang lain sakit hati dan merasa tidak aman ini, bukan. Tapi suara dari dalam hati yang asalnya dari dzat yang telah berjasa mengecat warna merah pada cabai )

Melihat rokoknya yang hanya tinggal separuh gabusnya saja, kebed membakar rokok baru lagi. Dengan satu hisapan panjang, dia memulai lagi celotehnya,
 "ngrungokno iku gak pakat enak e loh cung..! Karek pasang kuping, iso disambi lapo-lapo, awak dewe oleh informasi sing iso digawe ngapik'i awak dewe utowo iso digawe bekal nglakoni apik nggo wong liyo. Mulane aku iki bingung kadang-kadang kok onok wong pingin e nyroocolll bae.. Nggaaaacorrr teruss.. Wayahe koncone ngomong dipedot, karep e omongan teko lambene sing olo mau terus sing dirungokno karo wong-wong.. Ojo meneh suarane koncone utowo tonggone.. Sworone atine dhewe loh gak tau sempet dirungokno.. Aku ki kadang sakno ndelok e.. Nek pengen dirungokno ngono terus kan koyok e dewek e ki pengen dianggep. Mboh dianggep pinter, mboh dianggep kuoso.. Nek bahasa asune iki "ingin mendominasi". Padahal omongane iki sing metu gak tau onok bobot e.. Malah sing metu entut e polisi,, mbuuulet ae... Nek koyok ngono dewek e iki oleh informasi teko endi? Wong gak tau gelem ngrungokno. Piye iso ngapik i awak dhewe, piye iso gawe apik nggo wong liyo nek gak tau ngrungokno karep e wong?"
(mendengarkan itu enak sekali nak..! Tinggal pasang kuping, bisa sambil melakukan hal lain, kita dapat informasi yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki kwalitas diri atau dipakai untuk berbuat baik ke orang lain. Makanya saya ini kadang bingung kalau ada orang kok inginnya ngomooongg.. Teruss. Waktunya temennya ngomong dipotong, inginnya omongan dari mulutnya yang "buruk" itu terus yang didengerin orang. Saya ini kadang kasihan melihatnya. Kalau ingin didengarkan begitu terus, seakan-akan dia ingin dianggap. Entah dianggap pintar atau berkuasa. Kalau bahasa "anjing"nya ingin mendominasi. Padahal yang keluar dari mulutnya itu gak pernah bermutu. Malah yang keluar kentutnya polisi, muter disitu2 aja. Jangankan suara teman atau tetangganya. Suara hatinya saja tidak pernah didengarkan. Lantas bagaimana  dia bisa dapat informasi? Kalau tidak pernah ,mau mendengar begitu, bagaimana dia dapat memperbaiki diri sendiri? Bagaimana dia bisa berbuat baik ke orang lain kalu tidak pernah tahu apa yang diinginkan orang lain?)

Kali ini dia terhenti bukan karena rokoknya habis. Melainkan karena abu rokoknya jatuh ke tanah. Bukannya menyalakan lagi rokoknya, dia malah menyimpannya lagi ke bungkusnya. Kemudian dia menarik sarung dan merebahkan badannya ke atas "mbayang". Dari dalam sarungnya dia melanjutkan celotehnya,
"Mboh cung, aku iki iseh wong bingung. Sa'iki wae aku ngomongno tentang ngrungokno malah aku ngomong teruss.."
(entahlah, saya ini masih orang bingung. Sekarang saja saya berbicara mengenai mendengarkan tapi malah banyak omong)

Setelah itu yang terdengar hanyalah dengkuran dan sayup-sayup gending jawa yang baru terdengar saat dengkurannya melemah. Dasar si kebed.. Tidak salah kalau orang-orang di kampung memanggilnya dengan nama itu. Kebed, alias kebajut edan. Aku pun melanjutkan memandang lepas ke lautan yang syahdu di malam itu. Para penyulo masih sibuk memukuli air. Kali ini semuanya bukan hanya terlihat.. Tetapi menjadi terdengar lebih syahdu dan menyenangkan..

AZIZAH TITIP PESAN SINGKAT



Perjalanan yang panjang dan melelahkan dari Yogya ke Banjaranyar, kampung halaman tercinta. Mak dan bapak pasti sudah tidur kalau selarut malam ini. Untung saja kakakku masih terjaga. Jadi aku masih bisa masuk rumah. Perjalanan menuju kamar, sudut kanan mataku menangkap seseorang sedang terduduk di ruang tamu memandang ke arah luar jendela panjangnya. Di kegelapan, yang terlihat hanya bayangan samar saja. Tapi aku tahu bayanganitu. Bayangan itu milik adikku, Azizah.
Sudah hampir 11 tahun aku tak bertemu dengannya. Setiap kali aku pulang, dia selalu sedang tidak di rumah. Perpisahan selama itu membuat dirinya seperti baru saja kembali dari kematian bagiku. Ini kesempatanku untuk melepas rindu dengan yang terkasih. Aku letakkan tasku di tempat terakhir aku berdiri menatapnya dan berjalan mendekatinya perlahan. Aku duduk dengan pelan dan sangat dekat dengannya. Kupeluk tubuh yang sudah lama tak pernah kusentuh itu dan memberikan kecupan agak lama di pipi kanannya. Bisa kurasakan pipi sedingin besi lewat kedua bibirku. Masih sama seperti 10 tahun yang lalu ketika kukecup dia juga saat kami berpisah. Bau itu juga sama. Tidak berubah sama sekali. Dia menoleh dan menatap kearahku. Aku melepaskan pelukanku dan membalas tatapan matanya. Tidak ada kata yang keluar sama sekali. Kami sama-sama sadar. Kami sudah tidak membutuhkan kata-kata sama sekali untuk berkomunikasi. Bahasa apapun sudah tidak berarti. Sebuah tatapan saja sudah cukup mengungkap semua yang ingin kami sampaikan. Tiba-tiba air mata meleleh di kedua pipinya. Begitu derasnya hingga turun membasahi bajunya. Air mukanya mengungkapkan kesedihan yang mendalam. Seketika itu juga semua yang ingin diungkapkannya langsung merasuk kedalam hatiku layaknya wahyu atau ilham dari tuhan yang diturunkan untuk orang-orang yang dipilih-Nya. Kira-kira yang diungkapkannya seperti ini.

"pagi ini orang kampung menemukan dua lumba-lumba terdampar. Dua-duanya dalam keadaan yang menyedihkan. Air mata mengalir di mata mereka. 5 hari sebelumnya penyu hijau seukuran manusia dewasa juga terdampar. Dia pun mengeluarkan air matanya. Di hari yang sama ribuan ikan mati dan mengapung di tepi laut kita. Kondisinya masih segar namun mata mereka sangat merah. Orang kampung pikir itu semua kejadian biasa. Aku bilang kepada mereka bahwa lumba-lumba dan penyu tadi tidak terdampar melainkan mendamparkan diri mereka sendiri. Mereka sengaja menemui kita dan menyampaikan pesan dengan air mata mereka. Pun begitu halnya dengan ribuan ikan tadi. Semuanya melakukan hal yang sama. Hanya saja ikan tidak bisa mengeluarkan air mata. Itulah sebabnya mata mereka begitu merah padahal kondisinya masih segar. Makhluk-makhluk tuhan itu ingin mengatakan pada kita bahwa kelakuan kita telah memperburuk kondisi laut. Karang-karang yang kita hancurkan sejak 20 tahun yang lalu membuat para ikan bingung harus bertelur dimana. Eksploitasi berlebihan buah karya pukat harimau membuat banyak ibu ikan harus melihat ank-anaknya mati percuma. Setiap seretan pukat itu selalu memberikan pertanyaan pada ikan mengenai keterusan generasi mereka. Sampah-sampah, limbah-limbah membuat plankton-plankton yang biasanya selalu meramaikan tepian laut kita di malam hari dengan pendaran birunya yang indah enggan lagi mampir. Aku mengatakan yang sejujurnya pada orang kampung tapi mereka malah mengolokku telah membual."

Ceritanya membuat air mataku tak kuasa lagi kutahan. Lelehannya terasa sangat panas di pipi dan menembus hingga membakar hati. Beberapa saat kami masih saling menatap. Saat air mataku berhenti mengalir, adikku berdiri dan mulai beranjak dari tempat duduknya. Kini dia yang mengecup pipiku dan mulai berjalan menuju kamarnya. Mataku tak bisa lepas memandanginya hingga tubuhnya menghilang ditelan kegelapan dan kesunyian kamarnya. Kamar itu, taka da satu pun yang pernah memasukinya. Kegelapannya membutakan mata, kesunyiannya memekakkan telinga. Kami telah berpisah kembali dan tak tahu kapan akan bertemu lagi. diantara kami, pertemuan bisa berarti perpisahan. mungkin saja kami akan bertemu lagi kemudian hari tatkala laut tak lagi didzalimi.

Selasa, 18 September 2012

MY FRIEND'S SAD STORY


Tiba-tiba saja aku ingin bercerita tentang seorang teman. Ya, mungkin dapat menjadi pengingat bahwa kalian bukan orang yang paling tersiksa di dunia, bukan pula orang yang paling tidak beruntung di dunia. Bahwa masih ada seseorang di luar sana yang jauh lebih tidak beruntung dan jauh lebih tersakiti.
Jadi, cerita ini kumulai dari sekumpulan siswa berjas putih yang sedang berjalan menuju laboratorium kimia. Hari itu adalah jadwal praktikum. Seperti biasa, setelah berada didalam lab, mereka akan langsung membentuk kelompok yang sudah diberitahukan sejak awal semester. Kelompok itu akan selalu tetap hingga akhir semester. Peralatan praktikum dicek oleh masing-masing kelompok untuk memastikan bahwa semua peralatan lengkap dan berada dalam kondisi baik-baik saja dan siap untuk digunakan. Begitu juga peralatan milik kelompok Mili (bukan nama sebenarnya). Mili merasa semua baik-baik saja sehingga tidak ada yang perlu diganti terlebih dahulu. Karena semua sudah selesai memeriksa peralatan, praktikum dimulai. Aku lupa detil apa yang mereka lakukan di praktikum tersebut. Intinya, mereka harus mereaksikan sesuatu yang salah satu langkahnya membutuhkan pemanasan. Biasanya pembakar yang digunakan adalah bunsen dengan bahan bakar spirtus (metanol). Semua kelompok pun sudah melakukan pemanasan yang saya maksud, kecuali kelompok Mili. Sumbu bunsen mereka ternyata sudah habis dan hal itu tidak disadari Mili saat memeriksanya tadi.
"maaf, aku tidak menyadarinya saat memeriksanya tadi". Mili meminta maaf pada teman2nya.
Mereka sangat kebingungan. Bagaimana tidak, praktikum tersebut memang harus melalui pemanasan. Dan kelompok lain hampir selesai. sedangkan mereka, menyalakan api saja belum. Laboran juga sedang keluar dan mereka tidak berani mengambil alat tanpa izin. Ditengah kekacauan oleh kebingungan yang mereka alami, temanku yang tadi ingin kuceritakan pada anda, Sudiono (nama sebenarnya) menghampiri kelompok Mili. Melihat Mili yang kebingungan, Sudiono yang sudah lama memendam perasaan terhadap Mili terusik dan sangat ingin membantu. Dihampirinyalah Mili. Dengan berusaha sekuat tenaga menata suaranya agar terdengar gagah saat berbicara, Sudiono berbasa-basi menanyakan hal yang membuat Mili bingung. Mili menjelaskan bahwa bunsennya tidak bisa dipakai dan efeknya, pemanasan tidak bisa dilakukan. Sudiono mengrenyitkan dahi dan menggosok-gosokkan telunnjuk dan jempolnya ke dagu saat berusaha mencari solusi. Hal itu sebetulnya tidak dilakukan juga bukan menjadi masalah.  Dia hanya ingin terlihat keren didepan Mili.
Dan, ide itu pun datang. Setelah memberi instruksi pada Mili untuk menyiapkan gelas reaksi yang harus dibakar, Sudiono berkeliling ke semua meja praktikum untuk mengumpulkan semua korek api kayu. Tak lama Sudiono kembali ke pangkuan, maksudku kembali ke tempat Mili. Tanpa berbicara lagi, dia langsung mengeluarkan semua batang korek. Dia gesek satu batang korek hingga menyala dan menaruhnya dibawah gelas reaksi. Ternyata idenya sederhana. Membakar gelas reaksi dengan korek api saja. Dia pegang terus korek apinya. Dia biarkan api membakar semua batang agar tak terbuang sia-sia meskipun dia tahu jarinya pasti terbakar jika dia lakukan itu. Tapi rasa ingin membahagiakan yang dicintainya membuat sakit karena terbakar yang dirasakannya tak berarti. Saat satu batang sudah habis, dia akan menggesek batang yang lain. Begitu seterusnya. Melihat hal ini, Mili hanya bisa terdiam heran. Mili masih tidak percaya apa yang sedang dilakukan Sudiono. Dia melihat sendiri Sudiono dengan serius membakar gelas reaksi menggunakan batang korek api. Satu per satu. Itu yang mebuatnya tidak habis pikir. Sementara itu, Sudiono sudah mulai mengucurkan keringat di dahinya yang lebar. Matanya sudah mulai sayu dan bibirnya sudah pucat. Tapi tangannya yang juga sudah melepuh masih menggesekkan batang korek api baru terus menerus saat batang korek yang lama sudah tak terbakar lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Mili yang mulai menitikkan air mata mengambil tissue kering sebanyak-banyaknya dan menghampiri Sudiono. Dia tampar Sudiono dan menyuruhnya berhenti. Namun Sudiono tak mempedulikannya dan terus membakar. Sambil mengelap keringat Sudiono yang  terus menerus keluar, Mili memohon pada Sudiono untuk menghentikan semuanya. 
   "sudahlah, kau tak perlu melakukan ini semua. Di akhir praktikum, laboran akan datang dan aku akan bilang padanya bahwa bunsenku rusak sehingga praktikum ini tak bisa kuselesaikan. Aku akan memohon padanya untuk praktikum pengganti". Kata Mili sambil terus menitikkan air mata. 
"tidak, kau harus menyelesaikannya hari ini. Tak ada hari lain. Teman-temanmu juga tidak akan mau praktikum di hari lain karena kesalahanmu." jawab Sudiono sambil terus menggesekkan batang korek baru.
Mili sekali lagi menampar Sudiono. Kali ini sangat keras hingga Sudiono terhempas kesamping. Mili segera menghampirinya dan mendudukkan Sudiono lagi. Muka Sudiono sudah semakin pucat dan kali ini semua tangannya sudah terbakar. 
"siapapun tolong ambilkan salep luka bakar di poliklinik!!" Mili berteriak pada teman-temannya yang dari tadi hanya berdiri menyaksikan drama paling mengharukan di sejarah sekolah kami itu.
Temanku atho (aku tak pernah tahu ini nama sebenarnya atau bukan) segera berlari menuju poliklinik tanpa mempedulikan badannya yang kurus itu bisa kapan saja terpental saat angin menerpanya akibat lari kencang. Baginya, nasib temannya lebih penting. Semenit kemudian ia datang.
"hanya ini yang bisa ditemukan. Aku harap dapat menyembuhkan lukanya. Cepatlah, dia sudah mulai tak kuat." kata atho' sambil mengulurkan sesuatu ke Mili.
Tanpa basa-basi, Mili langsung melumurkan ke seluruh kulit Sudiono yang terbakar cairan dari sesuatu yang diberikan atho' tadi. Dan tiba-tiba kata-kata keluar dari mulut Sudiono. Tak jelas dia meracau atau bukan.
"aku hanya ingin membuatmu bahagia. Aku serius. Tak ada wanita yang selalu hinggap di hatiku selain dirimu."
Meskipun kaget dengan ucapan Sudiono, Mili masih terus melumurkan cairan dan meratakannya. Setelah selesai dan sepertinya Sudiono sudah mulai membaik, teman-temanku yang lain mulai membopong Sudiono menuju poliklinik.
*****
Pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Seseorang yang begitu mempesona muncul dari baliknya, berjalan pelan menuju tempat tidurnya sambil menenteng sesuatu. Dia duduk disamping kasur Sudiono dan meletakkan tentengannya di meja dekat kasurnya juga. Dia mulai membersihkan meja, mengganti bunga yang sudah layu, merapikan selimut.
"semua yanga kukatakan..." Sudiono berusaha membuka percakapan.
"sudahlah, kau jangan banyak berbicara. Kau masih harus istirahat." sela Mili sambil menempelkan telunjuknya di bibir Sudiono yang hitam.
"biarkan kali ini aku saja yang berbicara." Mili menarik napas dalam-dalam. Dan memulai perkataannya lagi.
"aku mendengarkan semuanya. Awalnya kukira kau hanya meracau. Tapi sesampainya di asrama, hari itu juga, aku masih terus teringat kata-katamu itu. Aku tak bisa menepisnya. Kata-katamu selalu bisa masuk kembali ke pikiranku. Dan aku mulai berpikir bahwa yang kau katakan adalah sesuatu yang keluar dari alam bawah sadarmu. Dan aku percaya alam bawah sadar adalah tempat dimana semua benar adanya." dia mengambil satu bunga di pot dan memainkannya. Merapikan setiap kelopaknya yang sudah rapi dari tadi.
"aku juga mulai teringat dengan semua tindakanmu sebelum itu. Kau selalu berbuat baik padaku. Dan aku juga selalu sadar kau melakukannya dengan sepenuh hati." Mili menaruh bunga di pot lagi dan meraih benda lain. Dia mulai memainkan benda itu. Menariknya, menggulungnya.
"temanku juga sering bercerita bahwa kau sering memperhatikanku. Tapi aku hanya tersenyum mendengarnya."
Sudiono membuka mlutnya. "a,,,"
"aku sudah bilang biarkan kali ini aku saja yang berbicara." Mili langsung memotong kata-kata Sudiono.
"baiklah, aku lanjutkan. Aku tersenyum karena tak hanya kau yang kudengar sering memperhatikanku. Banyak yang lain juga. Dan semuanya kutanggapi dengan senyum saja, begitu juga denganmu."
"a,,,"
"apa yang susah sih dengan diam dan mendengarkan???" kali ini Mili menyela kata-kata Sudiono dengan nada yang lebih tinggi.
"dari tadi kau memainkan perbanku dan itu sangat menyakitiku. Lukaku terbuka" dengan sangat cepat Sudiono mengatakan hal yang dari tadi terus disela oleh Mili.
"ahh,, ma'af.. Aku tak sadar." pinta Mili sambil segera membetulkan perbannya. Dia tak sadar yang diraihnya tadi adalah perban yang membalut luka Sudiono.
"oke, aku akan langsung ke intinya saja. Apakah yang kau katakan saat aku mengurus lukamu di laboratorium itu benar?" tanya Mili
Tiba-tiba hening datang cukup lama. Setelah menarik napas panjang, Sudiono menganggukkan kepalanya.
"ternyata aku benar.." kata Mili sambil menempelkan mulutnya ke sedotan dan mulai meminum habis jus yang ada di sampingya hingga habis.
Sudiono kaget tiba-tiba Mili menghabiskan begitu saja jusnya yang baru diminumnya sedikit itu.
"aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Dan kuputuskan aku harus berkata jujur padamu. Kuharap ini tak membuat bertambah buruk." Mili berdehem
"baiklah, aku tahu kau benar-benar mencintaiku. Tapi jika kau berharap bahwa aku juga mencintaimu, kau salah. Aku hanya menyukaimu karena kau banyak berbuat baik padaku. Dan pada dasarnya kau memang baik kepada siapapun. Dan aku juga ingin kau tahu bahwa cintaku sudah ada jauh diluar sana. Dia orang baik juga. Dan dia juga selalu memberiku perhatian yang lebih. Aku sangat mencintainya. Jadi, aku sangat meminta ma'af padamu jika aku mengecewakanmu. Kuharap kau tak membenciku." air mata mengalir di pipinya yang putih bersih saat Mili mengakhiri kata-katanya.
Sudiono terdiam sesaat, tersenyum, lalu mulai berbicara. "membencimu??? Tak akan pernah. Sudah kubilang aku sangat mencintaimu. Dan aku selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. Jika dia yang jauh diluar sana sangat membuatmu bahagia, aku pun akan bahagia."
Semuanya terdiam setelah itu. Keheningan kembali datang. Mili merapikan pakaiannya.
"yang aku bawa dan kuletakkan diatas mejamu ini pisang kepok goreng, kudengar kau sangat menyukainya. Dan dokter bilang tak apa bila saat ini kau memakannya. Semoga kau mau memerimanya." Mili membuka bingkisan yang dibawanya tadi itu.
Dengan cepat Sudiono mengambil satu pisang goreng dan memasukkannya ke mulutnya. "hhhhmmmff,,, enyak fekali. fewima hasih. Afu nyangat menyukainya." Katanya kurang jelas sambil tersenyum meskipun mulutnya masih penuh oleh pisang.
"syukurlah, aku senang kau menerimanya. Baiklah, aku harus kembali sekarang. Semoga cepat sembuh." Mili berdiri dan berbalik berjalan menuju keluar kamar Sudiono. Dia berpapasan denganku saat diluar sambil mengusap matanya yang merah oleh tangis yang tertahan. 
Aku berada diluar dari tadi mendengar semuanya. Sebetulnya aku hampir masuk juga saat kulihat dari celah pintu yang terbuka sedikit yang berada didalam adalah Mili. Sudah bukan rahasia, aku pun tahu bahwa Sudiono sangat mencintai Mili. Dan kurasa aku harus membiarkan mereka berdua. Setelah melihat Mili menghilang di belokan, aku masuk ke kamar Sudiono. Dia hanya terdiam tak menyadari kehadiranku hingga kusapa dia. Aku tahu yang dirasakannya. Dia temanku sejak berada di bangku TK. sejak saat itu dia selalu satu sekolah denganku. Sampai sekarang, di sekolah ini. Di sekolah yang tak pernah terpikirkan oleh kami sekalipun akan dapat kami masuki. Sekolah berasrama terbaik menurut kami.
"aku mendengar semuanya." kataku pada Sudiono.
Sudiono hanya tersenyum tipis. Aku tak percaya dengan yang dikatakannya. Maksudku tentang dia merasa bahagia jika Mili  bersama orang lain. Seperti yang kubilang tadi. Aku sudah bersamanya sejak lama. Aku tahu benar dia. Dia selalu berusaha mempercayai ungkapan "cinta tak harus memiliki.". Dan kenyataannya dia tak pernah berhasil mempercayainya. Aku tahu hatinya saat ini sangat hancur. Tak ada wanita lain di hatinya. Dan kenyataan tak bisa memilikinya pasti membuatnya kacau.
"kau masih saja berbohong dengan dirimu sendiri. Jika kau membutuhkanku, panggil saja aku. Aku akan siap setiap saat membantumu." Sudiono masih terdiam.
Aku meninggalkannya sendiri. Aku tak ingin dia berbuat buruk. Jadi kutawarkan bantuanku padanya. Kusempatkan melihat lagi dia sebelum benar-benar pergi. Dan dia masih terdiam dengan tatapan kosong. Kurapatkan pintu, dan melangkah kembali ke kelas.