RSS Feed

kenalaken, kulo

Foto Saya
WICAKSONO AZ-ZAKY
Bastian Arif Wicaksana. Jawa asli.
Lihat profil lengkapku

Rabu, 12 Januari 2011

FREAK...!!!

Langit masih kelabu dibalik jendela kamarku. Tetesan air sisa hujan masih mengalir di kaca jendela. Terutama di kusen yang terbuat dari kayu mahoni. Udara dingin masih menyelimuti kota tempatku tinggal. Dari balik jendela kamarku bisa kulihat pohon beringin yang biasanya berdiri gagah menyapa setiap pejalan yang lewat di trotoar seakan-akan ingin meringkuk menahan dinginnya udara sore ini. Beringin itu sudah berada ditempatnya saat ini sejak ratusan tahun yang lalu. Mungkin penduduk zaman dulu merasa sayang untuk menebangnya sehingga memutuskan untuk membiarkannya tumbuh ditengah-tengah perempatan jalan utama. Konsekuensinya, dua jalur dari kedua jalan yang bertemu harus dipisah membentuk lingkaran yang mengelilingi beringin tersebut. Beringin itu kini tumbuh sangat besar hingga nampak seperti payung raksasa dengan akar-akarnya yang tergerai bagaikan hiasan korden.
Sekarang awal bulan september dan hujan turun setiap sore. Jalanan sepi lebih dini dibanding biasanya. Lampu lalu lintas hanya berganti dari hijau-kuning-merah-kemudian hijau lagi secara periodik tanpa ada satu pun kendaraan yang diaturnya. Toko-toko juga banyak yang tutup. Hanya satu yang selalu setia untuk buka setiap saat bagaimanapun kondisi cuaca. Kedai kopi yang berada di seberang jalan, arah barat laut dari gedung tempatku menyewa kamar. Disitulah saat musim hujan seperti ini sebagian penduduk menghabiskan sisa hari sambil menghangatkan diri dengan secangkir kopi panas sebelum petang datang. Sisanya lebih memilih untuk mengurung diri dalam rumah bersama keluarga atau sekedar menonton televisi. Aku sendiri saat ini sedang berada dalam kamar, terbungkus jaket hitam pemberian kakakku. Sambil menahan udara dingin yang masih terasa di bagian tubuh yang tidak tertutup, kubaca rangkaian kalimat yang tampil di LCD handphone bututku.
Kenapa bagaimana lagi? Memang apa untungnya bagimu, dan sepertinya kau juga tak mendapat apa yang kau inginkan kan? Aku juga tak akan menannggapimu sedalam itu. Jadi, apa kau akan tetap bahagia kalau keadaan seperti ini terus berlanjut?”

Jariku mulai memencet-mencet tombol merangkai kalimat membalas sms yang kubaca tadi,

Bukankah dari dulu sejak pertama kau sudah menunjukkan sikap seperti itu padaku? Dan bukankah dari dulu juga aku terus berharap suatu saat kau akan menanggapiku? 2 tahun hingga kubaca isi paragraf terakhir surat yang kau berikan di kelulusan sekolah kita yang sangat membuat hatiku berbunga-bunga saat itu. Begitu pun saat ini...
aku sangat menyayangi keponakanku. Setiap hari aku berharap bisa bertemu dengannya. Mencium, memeluk, bercanda, berjoget dengannya. Aku selalu berdo’a dan berusaha untuk kebahagiaannya. Tak kan kubiarkan dia terluka meskipun hanya tertusuk duri. Aku berani berbuat seperti itu karena keponakanku menanggapiku. Entah seperti apa bentuk tanggapannya? Tidak akan hilang rasa sayangku meski dia memukul, meninju, atau bahkan menendangku...
mungkin seperti itu gambaran diriku padamu....”

aku tak merasakannya saat ini. Maka itu, kemarin kita sepakat untuk menjadi teman biasa saja. Aku hanya akan menganggapmu sebatas itu. Tak lebih...”

appaa...??!! kau tak lagi memiliki perasaan apapun padaku? Lalu, mengapa tak kau katakan dari dulu saat aku pertama kali katakan kalau aku mencintaimu? Mengapa kau malah memberiku jawaban yang bermakna kau juga memiliki rasa yang sama? Lalu, apa maksud isi paragraf terakhir surat yang kau berikan padaku? “

aku bilang kan sekarang. Mungkin iya waktu dulu. Sebetulnya aku juga merasa galau sejak masuk dunia perkuliahan. Masa yang kupikir tepat untuk mengembangkan perasaan sejak di SMA, malah menjadi masa hilangnya perasaan itu sedikit demi sedikit. Aku atau siapa salah, aku juga bingung. Atau mungkin aku adalah orang yang anti dengan istilah pacaran?
Maka dari itu, kumohon, jadilah teman biasa saja. Seperti itu juga yang orangtuaku bilang ketika ada seseorang yang memintaku untuk menjadi seseorang yang spesial di hidupnya...”

aku tak bisa untuk menganggapmu teman biasa saja. Terlalu banyak hal yang tak bisa kuterima dengan wajar jika kau hanya teman biasa bagiku. Juga dengan janjimu pada dirimu sendiri untuk menjaga perasaanmu padaku sampai kapanpun. Perasaanku sudah terlalu besar padamu...”

aku mengaku salah telah berjanji seperti itu. Tak ada manusia yang sempurna. Saat itu aku memang remaja labil yang baru pertama kali merasakan perasaan suka terhadap seseorang. Aku hanya ingin membahagiakanmu saat itu. Tapi ternyata seperti ini. Salah cara dan fatal. Lagipula kau sudah menyuruhku untuk mencabut janjiku itu kan di malam harinya? Beribu maaf kuucapkan untukmu, juga diriku sendiri...”

HHhhh,,, akhirnya ketakutanku terjadi juga. Ketakutan akan kehilangan rasa sukaku padamu kini malah terjadi padamu. Tapi aku akan terus berharap kau akan lebih dalam menanggapiku...”

Bukan lagi dingin yang kurasakan saat ini. Tubuhku terlalu lemas untuk merespon lingkungan. Mataku menatap jauh ke arah beringin, kemudian lebih jauh lagi ke cakrawala senja. Aku tak percaya dia dengan mudah mengataka kini tak punya perasaan apapun terhadapku. Pikiranku menerawang tak menentu. Melayang jauh meninggalkan raga yang terpaku diam, memutar kembali waktu mundur ke belakang, merunut segala kisah yang telah kujalani dengannya.
*****
(bersambung...)