RSS Feed

kenalaken, kulo

Foto Saya
WICAKSONO AZ-ZAKY
Bastian Arif Wicaksana. Jawa asli.
Lihat profil lengkapku

Selasa, 18 September 2012

MY FRIEND'S SAD STORY


Tiba-tiba saja aku ingin bercerita tentang seorang teman. Ya, mungkin dapat menjadi pengingat bahwa kalian bukan orang yang paling tersiksa di dunia, bukan pula orang yang paling tidak beruntung di dunia. Bahwa masih ada seseorang di luar sana yang jauh lebih tidak beruntung dan jauh lebih tersakiti.
Jadi, cerita ini kumulai dari sekumpulan siswa berjas putih yang sedang berjalan menuju laboratorium kimia. Hari itu adalah jadwal praktikum. Seperti biasa, setelah berada didalam lab, mereka akan langsung membentuk kelompok yang sudah diberitahukan sejak awal semester. Kelompok itu akan selalu tetap hingga akhir semester. Peralatan praktikum dicek oleh masing-masing kelompok untuk memastikan bahwa semua peralatan lengkap dan berada dalam kondisi baik-baik saja dan siap untuk digunakan. Begitu juga peralatan milik kelompok Mili (bukan nama sebenarnya). Mili merasa semua baik-baik saja sehingga tidak ada yang perlu diganti terlebih dahulu. Karena semua sudah selesai memeriksa peralatan, praktikum dimulai. Aku lupa detil apa yang mereka lakukan di praktikum tersebut. Intinya, mereka harus mereaksikan sesuatu yang salah satu langkahnya membutuhkan pemanasan. Biasanya pembakar yang digunakan adalah bunsen dengan bahan bakar spirtus (metanol). Semua kelompok pun sudah melakukan pemanasan yang saya maksud, kecuali kelompok Mili. Sumbu bunsen mereka ternyata sudah habis dan hal itu tidak disadari Mili saat memeriksanya tadi.
"maaf, aku tidak menyadarinya saat memeriksanya tadi". Mili meminta maaf pada teman2nya.
Mereka sangat kebingungan. Bagaimana tidak, praktikum tersebut memang harus melalui pemanasan. Dan kelompok lain hampir selesai. sedangkan mereka, menyalakan api saja belum. Laboran juga sedang keluar dan mereka tidak berani mengambil alat tanpa izin. Ditengah kekacauan oleh kebingungan yang mereka alami, temanku yang tadi ingin kuceritakan pada anda, Sudiono (nama sebenarnya) menghampiri kelompok Mili. Melihat Mili yang kebingungan, Sudiono yang sudah lama memendam perasaan terhadap Mili terusik dan sangat ingin membantu. Dihampirinyalah Mili. Dengan berusaha sekuat tenaga menata suaranya agar terdengar gagah saat berbicara, Sudiono berbasa-basi menanyakan hal yang membuat Mili bingung. Mili menjelaskan bahwa bunsennya tidak bisa dipakai dan efeknya, pemanasan tidak bisa dilakukan. Sudiono mengrenyitkan dahi dan menggosok-gosokkan telunnjuk dan jempolnya ke dagu saat berusaha mencari solusi. Hal itu sebetulnya tidak dilakukan juga bukan menjadi masalah.  Dia hanya ingin terlihat keren didepan Mili.
Dan, ide itu pun datang. Setelah memberi instruksi pada Mili untuk menyiapkan gelas reaksi yang harus dibakar, Sudiono berkeliling ke semua meja praktikum untuk mengumpulkan semua korek api kayu. Tak lama Sudiono kembali ke pangkuan, maksudku kembali ke tempat Mili. Tanpa berbicara lagi, dia langsung mengeluarkan semua batang korek. Dia gesek satu batang korek hingga menyala dan menaruhnya dibawah gelas reaksi. Ternyata idenya sederhana. Membakar gelas reaksi dengan korek api saja. Dia pegang terus korek apinya. Dia biarkan api membakar semua batang agar tak terbuang sia-sia meskipun dia tahu jarinya pasti terbakar jika dia lakukan itu. Tapi rasa ingin membahagiakan yang dicintainya membuat sakit karena terbakar yang dirasakannya tak berarti. Saat satu batang sudah habis, dia akan menggesek batang yang lain. Begitu seterusnya. Melihat hal ini, Mili hanya bisa terdiam heran. Mili masih tidak percaya apa yang sedang dilakukan Sudiono. Dia melihat sendiri Sudiono dengan serius membakar gelas reaksi menggunakan batang korek api. Satu per satu. Itu yang mebuatnya tidak habis pikir. Sementara itu, Sudiono sudah mulai mengucurkan keringat di dahinya yang lebar. Matanya sudah mulai sayu dan bibirnya sudah pucat. Tapi tangannya yang juga sudah melepuh masih menggesekkan batang korek api baru terus menerus saat batang korek yang lama sudah tak terbakar lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Mili yang mulai menitikkan air mata mengambil tissue kering sebanyak-banyaknya dan menghampiri Sudiono. Dia tampar Sudiono dan menyuruhnya berhenti. Namun Sudiono tak mempedulikannya dan terus membakar. Sambil mengelap keringat Sudiono yang  terus menerus keluar, Mili memohon pada Sudiono untuk menghentikan semuanya. 
   "sudahlah, kau tak perlu melakukan ini semua. Di akhir praktikum, laboran akan datang dan aku akan bilang padanya bahwa bunsenku rusak sehingga praktikum ini tak bisa kuselesaikan. Aku akan memohon padanya untuk praktikum pengganti". Kata Mili sambil terus menitikkan air mata. 
"tidak, kau harus menyelesaikannya hari ini. Tak ada hari lain. Teman-temanmu juga tidak akan mau praktikum di hari lain karena kesalahanmu." jawab Sudiono sambil terus menggesekkan batang korek baru.
Mili sekali lagi menampar Sudiono. Kali ini sangat keras hingga Sudiono terhempas kesamping. Mili segera menghampirinya dan mendudukkan Sudiono lagi. Muka Sudiono sudah semakin pucat dan kali ini semua tangannya sudah terbakar. 
"siapapun tolong ambilkan salep luka bakar di poliklinik!!" Mili berteriak pada teman-temannya yang dari tadi hanya berdiri menyaksikan drama paling mengharukan di sejarah sekolah kami itu.
Temanku atho (aku tak pernah tahu ini nama sebenarnya atau bukan) segera berlari menuju poliklinik tanpa mempedulikan badannya yang kurus itu bisa kapan saja terpental saat angin menerpanya akibat lari kencang. Baginya, nasib temannya lebih penting. Semenit kemudian ia datang.
"hanya ini yang bisa ditemukan. Aku harap dapat menyembuhkan lukanya. Cepatlah, dia sudah mulai tak kuat." kata atho' sambil mengulurkan sesuatu ke Mili.
Tanpa basa-basi, Mili langsung melumurkan ke seluruh kulit Sudiono yang terbakar cairan dari sesuatu yang diberikan atho' tadi. Dan tiba-tiba kata-kata keluar dari mulut Sudiono. Tak jelas dia meracau atau bukan.
"aku hanya ingin membuatmu bahagia. Aku serius. Tak ada wanita yang selalu hinggap di hatiku selain dirimu."
Meskipun kaget dengan ucapan Sudiono, Mili masih terus melumurkan cairan dan meratakannya. Setelah selesai dan sepertinya Sudiono sudah mulai membaik, teman-temanku yang lain mulai membopong Sudiono menuju poliklinik.
*****
Pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Seseorang yang begitu mempesona muncul dari baliknya, berjalan pelan menuju tempat tidurnya sambil menenteng sesuatu. Dia duduk disamping kasur Sudiono dan meletakkan tentengannya di meja dekat kasurnya juga. Dia mulai membersihkan meja, mengganti bunga yang sudah layu, merapikan selimut.
"semua yanga kukatakan..." Sudiono berusaha membuka percakapan.
"sudahlah, kau jangan banyak berbicara. Kau masih harus istirahat." sela Mili sambil menempelkan telunjuknya di bibir Sudiono yang hitam.
"biarkan kali ini aku saja yang berbicara." Mili menarik napas dalam-dalam. Dan memulai perkataannya lagi.
"aku mendengarkan semuanya. Awalnya kukira kau hanya meracau. Tapi sesampainya di asrama, hari itu juga, aku masih terus teringat kata-katamu itu. Aku tak bisa menepisnya. Kata-katamu selalu bisa masuk kembali ke pikiranku. Dan aku mulai berpikir bahwa yang kau katakan adalah sesuatu yang keluar dari alam bawah sadarmu. Dan aku percaya alam bawah sadar adalah tempat dimana semua benar adanya." dia mengambil satu bunga di pot dan memainkannya. Merapikan setiap kelopaknya yang sudah rapi dari tadi.
"aku juga mulai teringat dengan semua tindakanmu sebelum itu. Kau selalu berbuat baik padaku. Dan aku juga selalu sadar kau melakukannya dengan sepenuh hati." Mili menaruh bunga di pot lagi dan meraih benda lain. Dia mulai memainkan benda itu. Menariknya, menggulungnya.
"temanku juga sering bercerita bahwa kau sering memperhatikanku. Tapi aku hanya tersenyum mendengarnya."
Sudiono membuka mlutnya. "a,,,"
"aku sudah bilang biarkan kali ini aku saja yang berbicara." Mili langsung memotong kata-kata Sudiono.
"baiklah, aku lanjutkan. Aku tersenyum karena tak hanya kau yang kudengar sering memperhatikanku. Banyak yang lain juga. Dan semuanya kutanggapi dengan senyum saja, begitu juga denganmu."
"a,,,"
"apa yang susah sih dengan diam dan mendengarkan???" kali ini Mili menyela kata-kata Sudiono dengan nada yang lebih tinggi.
"dari tadi kau memainkan perbanku dan itu sangat menyakitiku. Lukaku terbuka" dengan sangat cepat Sudiono mengatakan hal yang dari tadi terus disela oleh Mili.
"ahh,, ma'af.. Aku tak sadar." pinta Mili sambil segera membetulkan perbannya. Dia tak sadar yang diraihnya tadi adalah perban yang membalut luka Sudiono.
"oke, aku akan langsung ke intinya saja. Apakah yang kau katakan saat aku mengurus lukamu di laboratorium itu benar?" tanya Mili
Tiba-tiba hening datang cukup lama. Setelah menarik napas panjang, Sudiono menganggukkan kepalanya.
"ternyata aku benar.." kata Mili sambil menempelkan mulutnya ke sedotan dan mulai meminum habis jus yang ada di sampingya hingga habis.
Sudiono kaget tiba-tiba Mili menghabiskan begitu saja jusnya yang baru diminumnya sedikit itu.
"aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Dan kuputuskan aku harus berkata jujur padamu. Kuharap ini tak membuat bertambah buruk." Mili berdehem
"baiklah, aku tahu kau benar-benar mencintaiku. Tapi jika kau berharap bahwa aku juga mencintaimu, kau salah. Aku hanya menyukaimu karena kau banyak berbuat baik padaku. Dan pada dasarnya kau memang baik kepada siapapun. Dan aku juga ingin kau tahu bahwa cintaku sudah ada jauh diluar sana. Dia orang baik juga. Dan dia juga selalu memberiku perhatian yang lebih. Aku sangat mencintainya. Jadi, aku sangat meminta ma'af padamu jika aku mengecewakanmu. Kuharap kau tak membenciku." air mata mengalir di pipinya yang putih bersih saat Mili mengakhiri kata-katanya.
Sudiono terdiam sesaat, tersenyum, lalu mulai berbicara. "membencimu??? Tak akan pernah. Sudah kubilang aku sangat mencintaimu. Dan aku selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. Jika dia yang jauh diluar sana sangat membuatmu bahagia, aku pun akan bahagia."
Semuanya terdiam setelah itu. Keheningan kembali datang. Mili merapikan pakaiannya.
"yang aku bawa dan kuletakkan diatas mejamu ini pisang kepok goreng, kudengar kau sangat menyukainya. Dan dokter bilang tak apa bila saat ini kau memakannya. Semoga kau mau memerimanya." Mili membuka bingkisan yang dibawanya tadi itu.
Dengan cepat Sudiono mengambil satu pisang goreng dan memasukkannya ke mulutnya. "hhhhmmmff,,, enyak fekali. fewima hasih. Afu nyangat menyukainya." Katanya kurang jelas sambil tersenyum meskipun mulutnya masih penuh oleh pisang.
"syukurlah, aku senang kau menerimanya. Baiklah, aku harus kembali sekarang. Semoga cepat sembuh." Mili berdiri dan berbalik berjalan menuju keluar kamar Sudiono. Dia berpapasan denganku saat diluar sambil mengusap matanya yang merah oleh tangis yang tertahan. 
Aku berada diluar dari tadi mendengar semuanya. Sebetulnya aku hampir masuk juga saat kulihat dari celah pintu yang terbuka sedikit yang berada didalam adalah Mili. Sudah bukan rahasia, aku pun tahu bahwa Sudiono sangat mencintai Mili. Dan kurasa aku harus membiarkan mereka berdua. Setelah melihat Mili menghilang di belokan, aku masuk ke kamar Sudiono. Dia hanya terdiam tak menyadari kehadiranku hingga kusapa dia. Aku tahu yang dirasakannya. Dia temanku sejak berada di bangku TK. sejak saat itu dia selalu satu sekolah denganku. Sampai sekarang, di sekolah ini. Di sekolah yang tak pernah terpikirkan oleh kami sekalipun akan dapat kami masuki. Sekolah berasrama terbaik menurut kami.
"aku mendengar semuanya." kataku pada Sudiono.
Sudiono hanya tersenyum tipis. Aku tak percaya dengan yang dikatakannya. Maksudku tentang dia merasa bahagia jika Mili  bersama orang lain. Seperti yang kubilang tadi. Aku sudah bersamanya sejak lama. Aku tahu benar dia. Dia selalu berusaha mempercayai ungkapan "cinta tak harus memiliki.". Dan kenyataannya dia tak pernah berhasil mempercayainya. Aku tahu hatinya saat ini sangat hancur. Tak ada wanita lain di hatinya. Dan kenyataan tak bisa memilikinya pasti membuatnya kacau.
"kau masih saja berbohong dengan dirimu sendiri. Jika kau membutuhkanku, panggil saja aku. Aku akan siap setiap saat membantumu." Sudiono masih terdiam.
Aku meninggalkannya sendiri. Aku tak ingin dia berbuat buruk. Jadi kutawarkan bantuanku padanya. Kusempatkan melihat lagi dia sebelum benar-benar pergi. Dan dia masih terdiam dengan tatapan kosong. Kurapatkan pintu, dan melangkah kembali ke kelas.

Senin, 20 Februari 2012

dear DIARE

Pagi yang menyenangkan di lingkungan asrama kami. Matahari yang bersinar, langit yang biru, awan yang putih bagaikan kumpulan permen kapas, rumput yang masih menyisakan embun, pepohonan yang hijau, dan udara yang sejuk dan basah. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Kecuali kumandang takbir ini. Tak pernah berhenti sejak jam 8 malam tadi. Suara yang parau terkadang terdengar di sela-sela kumandang takbir. Ya, hari ini hari raya idul adha. Segala bentuk kegiatan akademis diliburkan. Semua bergembira menyambutnya. Apapun motivasinya. Terlepas dari hikmah apa yang seharusnya dapat diambil dari hari ini, semua terlihat bersuka ria saat proses penyembelihan hewan kurban berlangsung.
Namun kisah sebenarnya baru dimulai beberapa saat setelah hari raya kurban selesai. Berawal dari konsumsi daging kurban. Sebagian daging sembelihan diolah oleh pihak kantin untuk dijadikan menu makan malam bagi para siswa. Ini adalah menu istimewa bagi kami. Daging kurban hasil potongan kami sendiri. Dan, daging-daging itu pun tersantap tanpa sisa.
Dan inilah titik acuan awal kami harus bergelut dengan sesuatu yang serius untuk beberapa minggu. Rupanya daging-daging hewan kurban itu membawa kami pada kondisi perut mules dan selalu ingin buang air besar. Yah, saat itu kami telah terserang penyakit yang kami sebut “dear, DIARE”. Wabah itu menjadi trending topic saat itu. Awalnya hanya segelintir siswa saja yang terkena penyakit ini. Namun, “dear DIARE” ini memiliki penyebaran yang lebih cepat daripada sebuah gosip sekalipun. Dan modus penyebarannya pun sama, dari mulut ke mulut. Keganasan wabah ini tidak diragukan lagi. Bahkan teman kami saudara CECEP (bkan nama sebenarnya) yang tidak suka daging kurban pun ikut terjangkit.
Beberapa hal yang menjadi catatanku saat wabah ini berada pada masa kejayaannya di asrama kami adalah yang pertama, toilet sudah pasti untuk masa itu menjadi hal yang paling diburu melebihi harta, tahta, Asmirandah, Maudy Ayunda, maupun Jessica. Keberadaannya sangat disyukuri dan juga disesali karena kurang banyaknya dalam hal jumlah. Sebagai gambaran, seorang siswa mungkin dapat buang air 3 kali dalam sejam. Bayangkan, hampir bahkan menyamai kecepatan bakteri dalam berkembang biak. Dan dalam sehari 24 jam, jika dihitung, seorang siswa berarti bisa buang air hingga 72 kali. Sesuatu perhitungan yang ngasal. Tentu saja hal ini mempengaruhi kesehatan lingkungan. Septictank yang meluap menimbulkan bau tak sedap.
Kedua, wabah ini benar-benar menurunkan tingkat kepercaya-dirian ketika kentut. Bagaimana seseorang harus mengatur kentutnya agar keluar secara pelan-pelan untuk menghindari keluarnya cairan yang, kau tahu sendiri itu apa. Jangan terlalu keras jika kentut jika tak mau keluar. Bahkan ketika bersin atau batuk sekalipun. Jangan terlalu keras atau sesuatau, yang kau tahu itu apa, akan keluar melalui hidung atau mulutmu. Tentu menjijikkan bukan? Semenjijikkan saat kau mempercayai hal ini benar-benar terjadi. Itulah alasan mengapa di masa itu sangat berkembang ajaran, “jagalah kentutmu agar tak menyesal nantinya!”. Pernah ada cerita menarik. Seorang siswa pernah merasa sudah terbebas dari wabah ini. Ketika dia merasakan angin harus segera dikeluarkan dari tubuhnya, dia dengan rasa percaya diri yang tinggi membuang angin itu keras-keras. Dan kau tahu apa yang terjadi? Ya, kita sama-sama tahu. Siswa itu ternyata belum benar-benar terbebas dari jerat “dear DIARE”.
Ketiga, nilai akademis benar-benar menjadi atlit selam. Terjun menyelam jauh hingga ke dasar samudera. Bagaimana tidak terjun jika hari-hari siswa harus dilalui di sebuah ruangan kecil berukuran tak lebih dari 1x1 meter? Dan pikiran siswa harus terbebani dengan segala hal yang terkait dengan ruangan itu? Sungguh hari-hari yang kelam. Sekelam atmosfer lingkungan sekolah asrama kami pada masa itu yang dipenuhi bau septictank yang meluap dan gas-gas beracun yang seakan memenuhi setiap sudut hidung.
Dan itulah sedikit cerita salah satu masa terkelam kami saat masih berada di lingkungan sekolah asrama kami tercinta.

Jumat, 03 Februari 2012

Bed Dream??

sering kali seseorang menggunakan kalimat "mimpi di siang bolong" untuk menyatakan bahwa hal yang diharapkan itu mustahil atau bahkan tidak mungkin bisa terjadi. bisa berarti bahwa apa yang diimpikan di siang hari memang benar2 kosong. Tapi, kurasa tak ada seseorang yang memakai ungkapan "mimpi di pagi hari" untuk menyatakan hal serupa. sebetulnya mimpi yang akan kuceritakan ini terjadi hampir pernah terjadi di semua waktu tidurku. dan hampir seluruhnya tak pernah ada sangkut-pautnya dengan apa yang kupikirkan sebelum tidur.

baik, jadi seperti ini mimpi itu. entah sejak kapan dan bagaimana aku berada di tempat itu. di sebuah ketinggian yang tak pernah bisa kulihat pemandangan dibawah. sejak aku mulai tersadar bukan dari apapun, aku sudah berada dalam posisi terduduk dengan sesuatu yang melilit di tubuhku yang akhirnya kusadari bahwa itu adalah sebuah sabuk pengaman. sederhana tapi sangat canggih. sebarepa kencang pun sabuk itu melilit, tak terasa sakit di tubuh. dan ketika pikiranku berkata untuk lepas, maka tanpa perlu usaha, aku bisa dengan leluasa bergerak kekanan-kekiri. itulah yang terus aku lakukan hingga secara tiba-tiba pula kusadari wanita itu berada didepanku. tersenyum menatap ulahku dari tadi. aku kenal wanita itu.
dia yang tak bagai embun yang menyejukkan,
dia yang tak bagai mentari pagi yang menghangatkan,
dia yang tak bagai mawar yang mewangi,
karena dia memang bukan embun, mentari pagi, ataupun mawar. dia adalah hal tersendiri. sesuatu yang lebih menyejukkan dari embun, lebih menghangatkan dari mentari pagi, dan lebih menebar kewangian dari sekedar bunga mawar.
dia berbicara kepadaku dengan kata yang tak bisa kuingat. tapi aku bisa menangkap bahwa dia senang berada disini, berdua duduk berhadapan denganku. dia terus berbicara banyak hal. seperti bahwa dirinya lah yang mengajakku berada disini, bahwa sekarang aku berada di singapore, bahwa sekarang tempat yang kami duduki berada pada posisi terbalik menghadap bawah, dan yang lain.
aku mulai menanyakan sesuatu padanya. sesuatu yang selalu ingin kutanyakan. "apakah dia benar-benar senang terhadapku?". tapi aku tak ingat dia pernah menjawab. hanya senyuman dan kami berdua tiba-tiba berada diatas tanah berdiri diatas dua kaki. aku memegang tangannya berjalan ke aarah manapun. seorang temanku lain kemudian meminjam kertas yang kupegang dan orang itu kemudian menghilang.
kami berjalan di dunia tanpa dimensi waktu. terus berpegang tangan dan aku merasa senang. begitu pun dia. hingga dia pun juga kemudian hilang. tak ada rasa kehilangan karena aku merasa dia akan kembali. kemudian aku melanjutkan perjalananku meneruskan menaiki tempat yang bersabuk pengaman canggih tadi. kulihat di kejauhan dia kembali dan kebingungan bagaimana cara menaikinya karena terlalu cepat bergerak. dia lebih pendiam dan datar. aku menghampirinya dan mengajaknya lewat tempat lain yang berarti aku harus menunjukkan kertas yang tadi dipinjam temanku. dia punya kertas itu tetapi aku tidak. kertas itu hilang bersama temanku. dia memutuskan untuk duduk lagi berdua suatu saat. dia menghilang lagi.

Jumat, 27 Januari 2012

menuju gerbang perubahan

Aku terbangun dengan wajah menatap keluar jendela mobil. Terlihat tetesan air akibat cuaca dingin mengalir dari atap mobil. Diluar sana tampak pemandangan yang sangat sepi. Sebuah jalan raya yang diterangi lampu-lampu kuning tinggi. Pertokoan kumuh berdiri di sepanjang jalan. Jaraknya lumayan jauh dari tepi jalan. Gundukan tanah bekas galian perbaikan saluran air. Tidak ada trotoar ditepi jalan. Hanya jalan tanah becek bekas hujan. Sepanjang mobil melaju, hanya pemandangan itu yang kulihat. Aku menengok kearah pergelangan tangan berharap bisa mengetahui pukul berapa saat itu hingga aku sadar aku tak pernah memakai jam. Bahkan aku tak pernah berhasil mengenakan jam di pergelangan tanganku. Pandanganku beralih ke arah lain. Sebelas manusia kampung dalam satu kendaraan minibus. Delapan manusia dewasa mengantarkan tiga anak beranjak dewasa menuju sebuah tempat antah berantah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.  600 KM dari kampung halaman dan tiga anak tersebut tak tahu tempat seperti apa yang mereka tuju. Apakah benar-benar sebuah sekolah ataukah sebuah kamp konsentrasi seperti halnya pada zaman Nazi. Apakah kabar tanggungan pembiayaan secara penuh selama menempuh  pendidikan disana itu benar adanya ataukah hanya sebuah jebakan. Atau mungkin situs pendaftaran dunia maya itu mungkin hanya sebuah situs bohongan hasil karya mahasiswa-mahasiswa frustasi untuk sekedar bersenang-senang tanpa pernah memikirkan nasib manusia level underground seperti kami yang terkena lelucon mereka. Tidak ada yang tahu. Tidak juga delapan dewasa itu. Semua hanya berbekal “bismillah” dan harapan agar semuanya adalah sebuah kebenaran.
Mobil bergerak melambat kemudian berbelok 90 derajat kekanan kemudian kembali mempercepat lajunya. Tak lama mobil berhenti tepat didepan sebuah kantor kecil dekat sebuah gerbang. Gerbang itu terlihat seperti sebuah gerbang kebun binatang. Dua tiang dibentuk menyerupai batang kayu yang menopang lengkungan papan nama dari beton. Supir keluar dan menghampiri seseorang didalam kantor itu. Mereka terlihat mengobrol. Sang supir mengeluarkan sesuatu dan menunjukkan kepada penghuni kantor itu. Si penghuni meraih benda yang disodorkan supir dan menunjuk-nunjuk kearah kejauhan. Sang supir kemudian menggaruk kepala sambil mengambil kembali benda yang dikeluarkannya tadi dan kembali masuk mobil.
“salah jalan. seharusnya belokan yang kanan tadi, bukan yang kiri” sang supir memberi tahu hasi pembicaraan tadi cepat-cepat sebelum ada yang bertanya.
Hhhh,, sudah kuduga. Ini kesekian kalinya dia salah jalan. Kukira kami bisa sampai lebih cepat 9 jam jika si supir itu tak selalu salah jalan. Satu hari yang lalu, kami hanya berputar di satu jalur yang sama. Bapakku menyadari kalau kami hanya berputar dan kembali ke tempat yang sama setelah dia menemukan sikat giginya yang ketinggalan saat sholat dhuhur di kamar mandi sebuah masjid kecil saat akan menunaikan sholat maghrib. Kau tahu apa artinya? Enam jam kami membuang waktu dan bensin hanya untuk kembali lagi ke masjid yang sama. Supir ini benar-benar sinting.  Sampai sekarang aku tak pernah tahu kenapa orang sinting itu yang menjadi supir kami.
Mobil memutar dan kembali ke titik kesalahan.
“sekarang saya yakin ini jalan yang benar. Hehe, tuh kan, sudah kelihatan gerbannya” supir itu menunjuk sebuah gerbang geser dari teralis besi.
“sampeyan dari kemarin bilang ini jalan yang benar, tapi nyatanya salah jalan toh? Sebaiknya sampeyan bener kali ini” bapakku mulai tidak sabar menghadapi si sinting ini. Supir kembali turun dan melakukan percakapan dengan dua orang didalam kantor dekat gerbang tadi. Kali ini tanpa garukan di kepala. Kemudian supir itu, ohya sebaiknya aku menyebutkan namanya saja. Jadi nama supir itu adalah Darming. Nama yang aneh memang. Aku berasumsi itu adalah singkatan dari “dasar miring” sesuai dengan otaknya yang miring. Pak darming mengangguk dan kembali ke mobil dengan senyum mengembang lebar. Hampir saja kulempar dia dengan kaleng soda melihat gigi gergajinya.
“bener toh pak apa yang saya bilang. Ini sekolahnya”