RSS Feed

kenalaken, kulo

Foto Saya
WICAKSONO AZ-ZAKY
Bastian Arif Wicaksana. Jawa asli.
Lihat profil lengkapku

Jumat, 27 Januari 2012

menuju gerbang perubahan

Aku terbangun dengan wajah menatap keluar jendela mobil. Terlihat tetesan air akibat cuaca dingin mengalir dari atap mobil. Diluar sana tampak pemandangan yang sangat sepi. Sebuah jalan raya yang diterangi lampu-lampu kuning tinggi. Pertokoan kumuh berdiri di sepanjang jalan. Jaraknya lumayan jauh dari tepi jalan. Gundukan tanah bekas galian perbaikan saluran air. Tidak ada trotoar ditepi jalan. Hanya jalan tanah becek bekas hujan. Sepanjang mobil melaju, hanya pemandangan itu yang kulihat. Aku menengok kearah pergelangan tangan berharap bisa mengetahui pukul berapa saat itu hingga aku sadar aku tak pernah memakai jam. Bahkan aku tak pernah berhasil mengenakan jam di pergelangan tanganku. Pandanganku beralih ke arah lain. Sebelas manusia kampung dalam satu kendaraan minibus. Delapan manusia dewasa mengantarkan tiga anak beranjak dewasa menuju sebuah tempat antah berantah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.  600 KM dari kampung halaman dan tiga anak tersebut tak tahu tempat seperti apa yang mereka tuju. Apakah benar-benar sebuah sekolah ataukah sebuah kamp konsentrasi seperti halnya pada zaman Nazi. Apakah kabar tanggungan pembiayaan secara penuh selama menempuh  pendidikan disana itu benar adanya ataukah hanya sebuah jebakan. Atau mungkin situs pendaftaran dunia maya itu mungkin hanya sebuah situs bohongan hasil karya mahasiswa-mahasiswa frustasi untuk sekedar bersenang-senang tanpa pernah memikirkan nasib manusia level underground seperti kami yang terkena lelucon mereka. Tidak ada yang tahu. Tidak juga delapan dewasa itu. Semua hanya berbekal “bismillah” dan harapan agar semuanya adalah sebuah kebenaran.
Mobil bergerak melambat kemudian berbelok 90 derajat kekanan kemudian kembali mempercepat lajunya. Tak lama mobil berhenti tepat didepan sebuah kantor kecil dekat sebuah gerbang. Gerbang itu terlihat seperti sebuah gerbang kebun binatang. Dua tiang dibentuk menyerupai batang kayu yang menopang lengkungan papan nama dari beton. Supir keluar dan menghampiri seseorang didalam kantor itu. Mereka terlihat mengobrol. Sang supir mengeluarkan sesuatu dan menunjukkan kepada penghuni kantor itu. Si penghuni meraih benda yang disodorkan supir dan menunjuk-nunjuk kearah kejauhan. Sang supir kemudian menggaruk kepala sambil mengambil kembali benda yang dikeluarkannya tadi dan kembali masuk mobil.
“salah jalan. seharusnya belokan yang kanan tadi, bukan yang kiri” sang supir memberi tahu hasi pembicaraan tadi cepat-cepat sebelum ada yang bertanya.
Hhhh,, sudah kuduga. Ini kesekian kalinya dia salah jalan. Kukira kami bisa sampai lebih cepat 9 jam jika si supir itu tak selalu salah jalan. Satu hari yang lalu, kami hanya berputar di satu jalur yang sama. Bapakku menyadari kalau kami hanya berputar dan kembali ke tempat yang sama setelah dia menemukan sikat giginya yang ketinggalan saat sholat dhuhur di kamar mandi sebuah masjid kecil saat akan menunaikan sholat maghrib. Kau tahu apa artinya? Enam jam kami membuang waktu dan bensin hanya untuk kembali lagi ke masjid yang sama. Supir ini benar-benar sinting.  Sampai sekarang aku tak pernah tahu kenapa orang sinting itu yang menjadi supir kami.
Mobil memutar dan kembali ke titik kesalahan.
“sekarang saya yakin ini jalan yang benar. Hehe, tuh kan, sudah kelihatan gerbannya” supir itu menunjuk sebuah gerbang geser dari teralis besi.
“sampeyan dari kemarin bilang ini jalan yang benar, tapi nyatanya salah jalan toh? Sebaiknya sampeyan bener kali ini” bapakku mulai tidak sabar menghadapi si sinting ini. Supir kembali turun dan melakukan percakapan dengan dua orang didalam kantor dekat gerbang tadi. Kali ini tanpa garukan di kepala. Kemudian supir itu, ohya sebaiknya aku menyebutkan namanya saja. Jadi nama supir itu adalah Darming. Nama yang aneh memang. Aku berasumsi itu adalah singkatan dari “dasar miring” sesuai dengan otaknya yang miring. Pak darming mengangguk dan kembali ke mobil dengan senyum mengembang lebar. Hampir saja kulempar dia dengan kaleng soda melihat gigi gergajinya.
“bener toh pak apa yang saya bilang. Ini sekolahnya”