RSS Feed

kenalaken, kulo

Foto Saya
WICAKSONO AZ-ZAKY
Bastian Arif Wicaksana. Jawa asli.
Lihat profil lengkapku

Kamis, 09 April 2015

RADIO BUTUT SI KEBED

Malam yang hening di kampung saya.. "baratan" (angin muson barat) sudah lama berlalu. Bintang-bintang pun lebih sering menampakkan kerlipnya. Perahu-perahu bergoyang begitu pelannya memberi irama syahdu pada nyanyian sang malam. Beberapa manusia tampak menikmatinya sambil menebar jala di kejauhan sana. Sorot lampu mereka mengangguk-ngangguk tatkala tangan mereka memukulkan tongkat kayu ke air. "nyulo" memang harus begitu. Air dipukul untuk menakuti ikan-ikan agar lari ke jala yang sudah dipasang. Saya duduk di "mbayang" (sebutan untuk tempat tidur dari bambu) cukup menjadi penonton saja.

Tetangga saya, si Kebed, punya cara sendiri yang selalu dilakukannya di suasana seindah ini, menghisap rokok diiringi kotak radio butut yang menyala. Sudah sejak setelah sholat isya' tadi dia hanya rebahan memandang langit disampingku. Dan sekarang sudah hampir jam setengah 12 malam. Jiwanya telah terserap dalam setiap hisapan rokok dan ikut melayang bersama asapnya yang bergerak acak namun harmoni dengan alunan gending yang keluar dari radio bututnya.

Melihat kebed yang begitu menikmati keadaannya saat itu, saya tergoda untuk mengganggunya. Saya pun membisikkan pertanyaan ke telinganya dengan nada yang sedikit menggoda
"enak temen yo, ngrokok karo ngrungokno radio mbengi-mbengi..?"
(enak ya, ngrokok sambil ndengerin radio malem-malem)

Saya tidak berharap dia mau merespon gangguan saya tadi. Saya malah "mbatin" dalam hati betapa radio memang tidak pernah ada matinya. Mau semaju apapun teknologi saat ini, radio rasanya tidak pernah kehilangan penikmatnya. Di setiap hape selalu ada radionya. Mobil-mobil yang melaju seringkali dibarengi radio menyala didalamnya. Profesi menjadi penyiar pun masih menjadi profesi yang prestisius.

Seakan mendengar suara "mbatin" saya tadi, si kebed tiba-tiba bersuara mengagetkanku.
"yo penak toh cung..! Wong karek ngrungokno, kurang kepenak piye tah? Yo iku rahasiane radio iku gak onok matine.."
(ya enak lah, orang tinggal dengerin gimana gak enak? Itu rahasianya radio gak pernah ada matinya)

Dia menghisap rokokya dua kali lagi dan melanjutkan omongannya
 "radioku iki masiho elek, suarane gelek gerok, yo gak kiro tak buak. Radio iki ngajari aku supoyo aku iki belajar ngrungokno. Luweh sering ngrungokno. Ngrungokno opo wae. Sworo ombak moro, sworo angin baratan, sworo wong ngemplongi pas nyulo, sworo iwak tetet kenek pencing, sworo iwak dudut, sworone konco, sworone sedulur, sworone wong wedok, pko'e sembarang kalir macem e sworo. Nah, sing paling penting ngrungokno sworone awak dhewe. Duduk sworo sing metu teko lambe sing gampang nggawe loro ati lan nggarai wong liyo ngroso gak aman iki, duduk.. Tapi sworo seko njero sing asale seko Dzat sing ngecet lombok."
(radio saya ini meskipun jelek, suaranya sering serak, tidak akan pernah saya buang. Radio ini mengajari saya agar belajar mendengar. Lebih sering mendengar. Mendengarkan apapun. Suara ombak yang mendekat, suara angin barat, suara orang memukulkan tongkat saat menjala ikan malam-malam, suara ikan tetet kena pancing, suara ikan dudut, suara teman, suara saudara, suara istri, pokoknya segala macam suara. Dan yang paling penting mendengarkan suara diri sendiri. Bukan suara yang keluar dari mulut yang lebih sering membuat orang lain sakit hati dan merasa tidak aman ini, bukan. Tapi suara dari dalam hati yang asalnya dari dzat yang telah berjasa mengecat warna merah pada cabai )

Melihat rokoknya yang hanya tinggal separuh gabusnya saja, kebed membakar rokok baru lagi. Dengan satu hisapan panjang, dia memulai lagi celotehnya,
 "ngrungokno iku gak pakat enak e loh cung..! Karek pasang kuping, iso disambi lapo-lapo, awak dewe oleh informasi sing iso digawe ngapik'i awak dewe utowo iso digawe bekal nglakoni apik nggo wong liyo. Mulane aku iki bingung kadang-kadang kok onok wong pingin e nyroocolll bae.. Nggaaaacorrr teruss.. Wayahe koncone ngomong dipedot, karep e omongan teko lambene sing olo mau terus sing dirungokno karo wong-wong.. Ojo meneh suarane koncone utowo tonggone.. Sworone atine dhewe loh gak tau sempet dirungokno.. Aku ki kadang sakno ndelok e.. Nek pengen dirungokno ngono terus kan koyok e dewek e ki pengen dianggep. Mboh dianggep pinter, mboh dianggep kuoso.. Nek bahasa asune iki "ingin mendominasi". Padahal omongane iki sing metu gak tau onok bobot e.. Malah sing metu entut e polisi,, mbuuulet ae... Nek koyok ngono dewek e iki oleh informasi teko endi? Wong gak tau gelem ngrungokno. Piye iso ngapik i awak dhewe, piye iso gawe apik nggo wong liyo nek gak tau ngrungokno karep e wong?"
(mendengarkan itu enak sekali nak..! Tinggal pasang kuping, bisa sambil melakukan hal lain, kita dapat informasi yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki kwalitas diri atau dipakai untuk berbuat baik ke orang lain. Makanya saya ini kadang bingung kalau ada orang kok inginnya ngomooongg.. Teruss. Waktunya temennya ngomong dipotong, inginnya omongan dari mulutnya yang "buruk" itu terus yang didengerin orang. Saya ini kadang kasihan melihatnya. Kalau ingin didengarkan begitu terus, seakan-akan dia ingin dianggap. Entah dianggap pintar atau berkuasa. Kalau bahasa "anjing"nya ingin mendominasi. Padahal yang keluar dari mulutnya itu gak pernah bermutu. Malah yang keluar kentutnya polisi, muter disitu2 aja. Jangankan suara teman atau tetangganya. Suara hatinya saja tidak pernah didengarkan. Lantas bagaimana  dia bisa dapat informasi? Kalau tidak pernah ,mau mendengar begitu, bagaimana dia dapat memperbaiki diri sendiri? Bagaimana dia bisa berbuat baik ke orang lain kalu tidak pernah tahu apa yang diinginkan orang lain?)

Kali ini dia terhenti bukan karena rokoknya habis. Melainkan karena abu rokoknya jatuh ke tanah. Bukannya menyalakan lagi rokoknya, dia malah menyimpannya lagi ke bungkusnya. Kemudian dia menarik sarung dan merebahkan badannya ke atas "mbayang". Dari dalam sarungnya dia melanjutkan celotehnya,
"Mboh cung, aku iki iseh wong bingung. Sa'iki wae aku ngomongno tentang ngrungokno malah aku ngomong teruss.."
(entahlah, saya ini masih orang bingung. Sekarang saja saya berbicara mengenai mendengarkan tapi malah banyak omong)

Setelah itu yang terdengar hanyalah dengkuran dan sayup-sayup gending jawa yang baru terdengar saat dengkurannya melemah. Dasar si kebed.. Tidak salah kalau orang-orang di kampung memanggilnya dengan nama itu. Kebed, alias kebajut edan. Aku pun melanjutkan memandang lepas ke lautan yang syahdu di malam itu. Para penyulo masih sibuk memukuli air. Kali ini semuanya bukan hanya terlihat.. Tetapi menjadi terdengar lebih syahdu dan menyenangkan..

AZIZAH TITIP PESAN SINGKAT



Perjalanan yang panjang dan melelahkan dari Yogya ke Banjaranyar, kampung halaman tercinta. Mak dan bapak pasti sudah tidur kalau selarut malam ini. Untung saja kakakku masih terjaga. Jadi aku masih bisa masuk rumah. Perjalanan menuju kamar, sudut kanan mataku menangkap seseorang sedang terduduk di ruang tamu memandang ke arah luar jendela panjangnya. Di kegelapan, yang terlihat hanya bayangan samar saja. Tapi aku tahu bayanganitu. Bayangan itu milik adikku, Azizah.
Sudah hampir 11 tahun aku tak bertemu dengannya. Setiap kali aku pulang, dia selalu sedang tidak di rumah. Perpisahan selama itu membuat dirinya seperti baru saja kembali dari kematian bagiku. Ini kesempatanku untuk melepas rindu dengan yang terkasih. Aku letakkan tasku di tempat terakhir aku berdiri menatapnya dan berjalan mendekatinya perlahan. Aku duduk dengan pelan dan sangat dekat dengannya. Kupeluk tubuh yang sudah lama tak pernah kusentuh itu dan memberikan kecupan agak lama di pipi kanannya. Bisa kurasakan pipi sedingin besi lewat kedua bibirku. Masih sama seperti 10 tahun yang lalu ketika kukecup dia juga saat kami berpisah. Bau itu juga sama. Tidak berubah sama sekali. Dia menoleh dan menatap kearahku. Aku melepaskan pelukanku dan membalas tatapan matanya. Tidak ada kata yang keluar sama sekali. Kami sama-sama sadar. Kami sudah tidak membutuhkan kata-kata sama sekali untuk berkomunikasi. Bahasa apapun sudah tidak berarti. Sebuah tatapan saja sudah cukup mengungkap semua yang ingin kami sampaikan. Tiba-tiba air mata meleleh di kedua pipinya. Begitu derasnya hingga turun membasahi bajunya. Air mukanya mengungkapkan kesedihan yang mendalam. Seketika itu juga semua yang ingin diungkapkannya langsung merasuk kedalam hatiku layaknya wahyu atau ilham dari tuhan yang diturunkan untuk orang-orang yang dipilih-Nya. Kira-kira yang diungkapkannya seperti ini.

"pagi ini orang kampung menemukan dua lumba-lumba terdampar. Dua-duanya dalam keadaan yang menyedihkan. Air mata mengalir di mata mereka. 5 hari sebelumnya penyu hijau seukuran manusia dewasa juga terdampar. Dia pun mengeluarkan air matanya. Di hari yang sama ribuan ikan mati dan mengapung di tepi laut kita. Kondisinya masih segar namun mata mereka sangat merah. Orang kampung pikir itu semua kejadian biasa. Aku bilang kepada mereka bahwa lumba-lumba dan penyu tadi tidak terdampar melainkan mendamparkan diri mereka sendiri. Mereka sengaja menemui kita dan menyampaikan pesan dengan air mata mereka. Pun begitu halnya dengan ribuan ikan tadi. Semuanya melakukan hal yang sama. Hanya saja ikan tidak bisa mengeluarkan air mata. Itulah sebabnya mata mereka begitu merah padahal kondisinya masih segar. Makhluk-makhluk tuhan itu ingin mengatakan pada kita bahwa kelakuan kita telah memperburuk kondisi laut. Karang-karang yang kita hancurkan sejak 20 tahun yang lalu membuat para ikan bingung harus bertelur dimana. Eksploitasi berlebihan buah karya pukat harimau membuat banyak ibu ikan harus melihat ank-anaknya mati percuma. Setiap seretan pukat itu selalu memberikan pertanyaan pada ikan mengenai keterusan generasi mereka. Sampah-sampah, limbah-limbah membuat plankton-plankton yang biasanya selalu meramaikan tepian laut kita di malam hari dengan pendaran birunya yang indah enggan lagi mampir. Aku mengatakan yang sejujurnya pada orang kampung tapi mereka malah mengolokku telah membual."

Ceritanya membuat air mataku tak kuasa lagi kutahan. Lelehannya terasa sangat panas di pipi dan menembus hingga membakar hati. Beberapa saat kami masih saling menatap. Saat air mataku berhenti mengalir, adikku berdiri dan mulai beranjak dari tempat duduknya. Kini dia yang mengecup pipiku dan mulai berjalan menuju kamarnya. Mataku tak bisa lepas memandanginya hingga tubuhnya menghilang ditelan kegelapan dan kesunyian kamarnya. Kamar itu, taka da satu pun yang pernah memasukinya. Kegelapannya membutakan mata, kesunyiannya memekakkan telinga. Kami telah berpisah kembali dan tak tahu kapan akan bertemu lagi. diantara kami, pertemuan bisa berarti perpisahan. mungkin saja kami akan bertemu lagi kemudian hari tatkala laut tak lagi didzalimi.