Malam yang
hening di kampung saya.. "baratan" (angin muson barat) sudah lama
berlalu. Bintang-bintang pun lebih sering menampakkan kerlipnya. Perahu-perahu
bergoyang begitu pelannya memberi irama syahdu pada nyanyian sang malam.
Beberapa manusia tampak menikmatinya sambil menebar jala di kejauhan sana.
Sorot lampu mereka mengangguk-ngangguk tatkala tangan mereka memukulkan tongkat
kayu ke air. "nyulo" memang harus begitu. Air dipukul untuk menakuti
ikan-ikan agar lari ke jala yang sudah dipasang. Saya duduk di
"mbayang" (sebutan untuk tempat tidur dari bambu) cukup menjadi
penonton saja.
Tetangga saya,
si Kebed, punya cara sendiri yang selalu dilakukannya di suasana seindah ini,
menghisap rokok diiringi kotak radio butut yang menyala. Sudah sejak setelah
sholat isya' tadi dia hanya rebahan memandang langit disampingku. Dan sekarang
sudah hampir jam setengah 12 malam. Jiwanya telah terserap dalam setiap hisapan
rokok dan ikut melayang bersama asapnya yang bergerak acak namun harmoni dengan
alunan gending yang keluar dari radio bututnya.
Melihat kebed
yang begitu menikmati keadaannya saat itu, saya tergoda untuk mengganggunya.
Saya pun membisikkan pertanyaan ke telinganya dengan nada yang sedikit menggoda
"enak temen yo, ngrokok karo
ngrungokno radio mbengi-mbengi..?"
(enak ya,
ngrokok sambil ndengerin radio malem-malem)
Saya tidak
berharap dia mau merespon gangguan saya tadi. Saya malah "mbatin"
dalam hati betapa radio memang tidak pernah ada matinya. Mau semaju apapun
teknologi saat ini, radio rasanya tidak pernah kehilangan penikmatnya. Di
setiap hape selalu ada radionya. Mobil-mobil yang melaju seringkali dibarengi
radio menyala didalamnya. Profesi menjadi penyiar pun masih menjadi profesi
yang prestisius.
Seakan
mendengar suara "mbatin" saya tadi, si kebed tiba-tiba bersuara
mengagetkanku.
"yo penak toh cung..! Wong karek
ngrungokno, kurang kepenak piye tah? Yo iku rahasiane radio iku gak onok
matine.."
(ya enak lah,
orang tinggal dengerin gimana gak enak? Itu rahasianya radio gak pernah ada
matinya)
Dia menghisap
rokokya dua kali lagi dan melanjutkan omongannya
"radioku iki masiho elek, suarane gelek
gerok, yo gak kiro tak buak. Radio iki ngajari aku supoyo aku iki belajar
ngrungokno. Luweh sering ngrungokno. Ngrungokno opo wae. Sworo ombak moro,
sworo angin baratan, sworo wong ngemplongi pas nyulo, sworo iwak tetet kenek
pencing, sworo iwak dudut, sworone konco, sworone sedulur, sworone wong wedok,
pko'e sembarang kalir macem e sworo. Nah, sing paling penting ngrungokno
sworone awak dhewe. Duduk sworo sing metu teko lambe sing gampang nggawe loro
ati lan nggarai wong liyo ngroso gak aman iki, duduk.. Tapi sworo seko njero
sing asale seko Dzat sing ngecet lombok."
(radio saya ini
meskipun jelek, suaranya sering serak, tidak akan pernah saya buang. Radio ini
mengajari saya agar belajar mendengar. Lebih sering mendengar. Mendengarkan apapun.
Suara ombak yang mendekat, suara angin barat, suara orang memukulkan tongkat
saat menjala ikan malam-malam, suara ikan tetet kena pancing, suara ikan dudut,
suara teman, suara saudara, suara istri, pokoknya segala macam suara. Dan yang
paling penting mendengarkan suara diri sendiri. Bukan suara yang keluar dari
mulut yang lebih sering membuat orang lain sakit hati dan merasa tidak aman
ini, bukan. Tapi suara dari dalam hati yang asalnya dari dzat yang telah
berjasa mengecat warna merah pada cabai )
Melihat
rokoknya yang hanya tinggal separuh gabusnya saja, kebed membakar rokok baru
lagi. Dengan satu hisapan panjang, dia memulai lagi celotehnya,
"ngrungokno iku gak pakat enak e loh
cung..! Karek pasang kuping, iso disambi lapo-lapo, awak dewe oleh informasi
sing iso digawe ngapik'i awak dewe utowo iso digawe bekal nglakoni apik nggo
wong liyo. Mulane aku iki bingung kadang-kadang kok onok wong pingin e
nyroocolll bae.. Nggaaaacorrr teruss.. Wayahe koncone ngomong dipedot, karep e
omongan teko lambene sing olo mau terus sing dirungokno karo wong-wong.. Ojo
meneh suarane koncone utowo tonggone.. Sworone atine dhewe loh gak tau sempet
dirungokno.. Aku ki kadang sakno ndelok e.. Nek pengen dirungokno ngono terus
kan koyok e dewek e ki pengen dianggep. Mboh dianggep pinter, mboh dianggep
kuoso.. Nek bahasa asune iki "ingin mendominasi". Padahal omongane
iki sing metu gak tau onok bobot e.. Malah sing metu entut e polisi,, mbuuulet
ae... Nek koyok ngono dewek e iki oleh informasi teko endi? Wong gak tau gelem
ngrungokno. Piye iso ngapik i awak dhewe, piye iso gawe apik nggo wong liyo nek
gak tau ngrungokno karep e wong?"
(mendengarkan
itu enak sekali nak..! Tinggal pasang kuping, bisa sambil melakukan hal lain,
kita dapat informasi yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki kwalitas diri
atau dipakai untuk berbuat baik ke orang lain. Makanya saya ini kadang bingung
kalau ada orang kok inginnya ngomooongg.. Teruss. Waktunya temennya ngomong
dipotong, inginnya omongan dari mulutnya yang "buruk" itu terus yang
didengerin orang. Saya ini kadang kasihan melihatnya. Kalau ingin didengarkan
begitu terus, seakan-akan dia ingin dianggap. Entah dianggap pintar atau
berkuasa. Kalau bahasa "anjing"nya ingin mendominasi. Padahal yang
keluar dari mulutnya itu gak pernah bermutu. Malah yang keluar kentutnya
polisi, muter disitu2 aja. Jangankan suara teman atau tetangganya. Suara
hatinya saja tidak pernah didengarkan. Lantas bagaimana dia bisa dapat informasi? Kalau tidak pernah
,mau mendengar begitu, bagaimana dia dapat memperbaiki diri sendiri? Bagaimana
dia bisa berbuat baik ke orang lain kalu tidak pernah tahu apa yang diinginkan
orang lain?)
Kali ini dia
terhenti bukan karena rokoknya habis. Melainkan karena abu rokoknya jatuh ke
tanah. Bukannya menyalakan lagi rokoknya, dia malah menyimpannya lagi ke
bungkusnya. Kemudian dia menarik sarung dan merebahkan badannya ke atas
"mbayang". Dari dalam sarungnya dia melanjutkan celotehnya,
"Mboh cung, aku iki iseh wong bingung.
Sa'iki wae aku ngomongno tentang ngrungokno malah aku ngomong teruss.."
(entahlah, saya
ini masih orang bingung. Sekarang saja saya berbicara mengenai mendengarkan
tapi malah banyak omong)
Setelah itu
yang terdengar hanyalah dengkuran dan sayup-sayup gending jawa yang baru
terdengar saat dengkurannya melemah. Dasar si kebed.. Tidak salah kalau
orang-orang di kampung memanggilnya dengan nama itu. Kebed, alias kebajut edan. Aku pun
melanjutkan memandang lepas ke lautan yang syahdu di malam itu. Para penyulo
masih sibuk memukuli air. Kali ini semuanya bukan hanya terlihat.. Tetapi
menjadi terdengar lebih syahdu dan menyenangkan..
0 komentar:
Posting Komentar