RSS Feed

kenalaken, kulo

Foto Saya
WICAKSONO AZ-ZAKY
Bastian Arif Wicaksana. Jawa asli.
Lihat profil lengkapku

Selasa, 18 September 2012

MY FRIEND'S SAD STORY


Tiba-tiba saja aku ingin bercerita tentang seorang teman. Ya, mungkin dapat menjadi pengingat bahwa kalian bukan orang yang paling tersiksa di dunia, bukan pula orang yang paling tidak beruntung di dunia. Bahwa masih ada seseorang di luar sana yang jauh lebih tidak beruntung dan jauh lebih tersakiti.
Jadi, cerita ini kumulai dari sekumpulan siswa berjas putih yang sedang berjalan menuju laboratorium kimia. Hari itu adalah jadwal praktikum. Seperti biasa, setelah berada didalam lab, mereka akan langsung membentuk kelompok yang sudah diberitahukan sejak awal semester. Kelompok itu akan selalu tetap hingga akhir semester. Peralatan praktikum dicek oleh masing-masing kelompok untuk memastikan bahwa semua peralatan lengkap dan berada dalam kondisi baik-baik saja dan siap untuk digunakan. Begitu juga peralatan milik kelompok Mili (bukan nama sebenarnya). Mili merasa semua baik-baik saja sehingga tidak ada yang perlu diganti terlebih dahulu. Karena semua sudah selesai memeriksa peralatan, praktikum dimulai. Aku lupa detil apa yang mereka lakukan di praktikum tersebut. Intinya, mereka harus mereaksikan sesuatu yang salah satu langkahnya membutuhkan pemanasan. Biasanya pembakar yang digunakan adalah bunsen dengan bahan bakar spirtus (metanol). Semua kelompok pun sudah melakukan pemanasan yang saya maksud, kecuali kelompok Mili. Sumbu bunsen mereka ternyata sudah habis dan hal itu tidak disadari Mili saat memeriksanya tadi.
"maaf, aku tidak menyadarinya saat memeriksanya tadi". Mili meminta maaf pada teman2nya.
Mereka sangat kebingungan. Bagaimana tidak, praktikum tersebut memang harus melalui pemanasan. Dan kelompok lain hampir selesai. sedangkan mereka, menyalakan api saja belum. Laboran juga sedang keluar dan mereka tidak berani mengambil alat tanpa izin. Ditengah kekacauan oleh kebingungan yang mereka alami, temanku yang tadi ingin kuceritakan pada anda, Sudiono (nama sebenarnya) menghampiri kelompok Mili. Melihat Mili yang kebingungan, Sudiono yang sudah lama memendam perasaan terhadap Mili terusik dan sangat ingin membantu. Dihampirinyalah Mili. Dengan berusaha sekuat tenaga menata suaranya agar terdengar gagah saat berbicara, Sudiono berbasa-basi menanyakan hal yang membuat Mili bingung. Mili menjelaskan bahwa bunsennya tidak bisa dipakai dan efeknya, pemanasan tidak bisa dilakukan. Sudiono mengrenyitkan dahi dan menggosok-gosokkan telunnjuk dan jempolnya ke dagu saat berusaha mencari solusi. Hal itu sebetulnya tidak dilakukan juga bukan menjadi masalah.  Dia hanya ingin terlihat keren didepan Mili.
Dan, ide itu pun datang. Setelah memberi instruksi pada Mili untuk menyiapkan gelas reaksi yang harus dibakar, Sudiono berkeliling ke semua meja praktikum untuk mengumpulkan semua korek api kayu. Tak lama Sudiono kembali ke pangkuan, maksudku kembali ke tempat Mili. Tanpa berbicara lagi, dia langsung mengeluarkan semua batang korek. Dia gesek satu batang korek hingga menyala dan menaruhnya dibawah gelas reaksi. Ternyata idenya sederhana. Membakar gelas reaksi dengan korek api saja. Dia pegang terus korek apinya. Dia biarkan api membakar semua batang agar tak terbuang sia-sia meskipun dia tahu jarinya pasti terbakar jika dia lakukan itu. Tapi rasa ingin membahagiakan yang dicintainya membuat sakit karena terbakar yang dirasakannya tak berarti. Saat satu batang sudah habis, dia akan menggesek batang yang lain. Begitu seterusnya. Melihat hal ini, Mili hanya bisa terdiam heran. Mili masih tidak percaya apa yang sedang dilakukan Sudiono. Dia melihat sendiri Sudiono dengan serius membakar gelas reaksi menggunakan batang korek api. Satu per satu. Itu yang mebuatnya tidak habis pikir. Sementara itu, Sudiono sudah mulai mengucurkan keringat di dahinya yang lebar. Matanya sudah mulai sayu dan bibirnya sudah pucat. Tapi tangannya yang juga sudah melepuh masih menggesekkan batang korek api baru terus menerus saat batang korek yang lama sudah tak terbakar lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Mili yang mulai menitikkan air mata mengambil tissue kering sebanyak-banyaknya dan menghampiri Sudiono. Dia tampar Sudiono dan menyuruhnya berhenti. Namun Sudiono tak mempedulikannya dan terus membakar. Sambil mengelap keringat Sudiono yang  terus menerus keluar, Mili memohon pada Sudiono untuk menghentikan semuanya. 
   "sudahlah, kau tak perlu melakukan ini semua. Di akhir praktikum, laboran akan datang dan aku akan bilang padanya bahwa bunsenku rusak sehingga praktikum ini tak bisa kuselesaikan. Aku akan memohon padanya untuk praktikum pengganti". Kata Mili sambil terus menitikkan air mata. 
"tidak, kau harus menyelesaikannya hari ini. Tak ada hari lain. Teman-temanmu juga tidak akan mau praktikum di hari lain karena kesalahanmu." jawab Sudiono sambil terus menggesekkan batang korek baru.
Mili sekali lagi menampar Sudiono. Kali ini sangat keras hingga Sudiono terhempas kesamping. Mili segera menghampirinya dan mendudukkan Sudiono lagi. Muka Sudiono sudah semakin pucat dan kali ini semua tangannya sudah terbakar. 
"siapapun tolong ambilkan salep luka bakar di poliklinik!!" Mili berteriak pada teman-temannya yang dari tadi hanya berdiri menyaksikan drama paling mengharukan di sejarah sekolah kami itu.
Temanku atho (aku tak pernah tahu ini nama sebenarnya atau bukan) segera berlari menuju poliklinik tanpa mempedulikan badannya yang kurus itu bisa kapan saja terpental saat angin menerpanya akibat lari kencang. Baginya, nasib temannya lebih penting. Semenit kemudian ia datang.
"hanya ini yang bisa ditemukan. Aku harap dapat menyembuhkan lukanya. Cepatlah, dia sudah mulai tak kuat." kata atho' sambil mengulurkan sesuatu ke Mili.
Tanpa basa-basi, Mili langsung melumurkan ke seluruh kulit Sudiono yang terbakar cairan dari sesuatu yang diberikan atho' tadi. Dan tiba-tiba kata-kata keluar dari mulut Sudiono. Tak jelas dia meracau atau bukan.
"aku hanya ingin membuatmu bahagia. Aku serius. Tak ada wanita yang selalu hinggap di hatiku selain dirimu."
Meskipun kaget dengan ucapan Sudiono, Mili masih terus melumurkan cairan dan meratakannya. Setelah selesai dan sepertinya Sudiono sudah mulai membaik, teman-temanku yang lain mulai membopong Sudiono menuju poliklinik.
*****
Pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Seseorang yang begitu mempesona muncul dari baliknya, berjalan pelan menuju tempat tidurnya sambil menenteng sesuatu. Dia duduk disamping kasur Sudiono dan meletakkan tentengannya di meja dekat kasurnya juga. Dia mulai membersihkan meja, mengganti bunga yang sudah layu, merapikan selimut.
"semua yanga kukatakan..." Sudiono berusaha membuka percakapan.
"sudahlah, kau jangan banyak berbicara. Kau masih harus istirahat." sela Mili sambil menempelkan telunjuknya di bibir Sudiono yang hitam.
"biarkan kali ini aku saja yang berbicara." Mili menarik napas dalam-dalam. Dan memulai perkataannya lagi.
"aku mendengarkan semuanya. Awalnya kukira kau hanya meracau. Tapi sesampainya di asrama, hari itu juga, aku masih terus teringat kata-katamu itu. Aku tak bisa menepisnya. Kata-katamu selalu bisa masuk kembali ke pikiranku. Dan aku mulai berpikir bahwa yang kau katakan adalah sesuatu yang keluar dari alam bawah sadarmu. Dan aku percaya alam bawah sadar adalah tempat dimana semua benar adanya." dia mengambil satu bunga di pot dan memainkannya. Merapikan setiap kelopaknya yang sudah rapi dari tadi.
"aku juga mulai teringat dengan semua tindakanmu sebelum itu. Kau selalu berbuat baik padaku. Dan aku juga selalu sadar kau melakukannya dengan sepenuh hati." Mili menaruh bunga di pot lagi dan meraih benda lain. Dia mulai memainkan benda itu. Menariknya, menggulungnya.
"temanku juga sering bercerita bahwa kau sering memperhatikanku. Tapi aku hanya tersenyum mendengarnya."
Sudiono membuka mlutnya. "a,,,"
"aku sudah bilang biarkan kali ini aku saja yang berbicara." Mili langsung memotong kata-kata Sudiono.
"baiklah, aku lanjutkan. Aku tersenyum karena tak hanya kau yang kudengar sering memperhatikanku. Banyak yang lain juga. Dan semuanya kutanggapi dengan senyum saja, begitu juga denganmu."
"a,,,"
"apa yang susah sih dengan diam dan mendengarkan???" kali ini Mili menyela kata-kata Sudiono dengan nada yang lebih tinggi.
"dari tadi kau memainkan perbanku dan itu sangat menyakitiku. Lukaku terbuka" dengan sangat cepat Sudiono mengatakan hal yang dari tadi terus disela oleh Mili.
"ahh,, ma'af.. Aku tak sadar." pinta Mili sambil segera membetulkan perbannya. Dia tak sadar yang diraihnya tadi adalah perban yang membalut luka Sudiono.
"oke, aku akan langsung ke intinya saja. Apakah yang kau katakan saat aku mengurus lukamu di laboratorium itu benar?" tanya Mili
Tiba-tiba hening datang cukup lama. Setelah menarik napas panjang, Sudiono menganggukkan kepalanya.
"ternyata aku benar.." kata Mili sambil menempelkan mulutnya ke sedotan dan mulai meminum habis jus yang ada di sampingya hingga habis.
Sudiono kaget tiba-tiba Mili menghabiskan begitu saja jusnya yang baru diminumnya sedikit itu.
"aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku sudah memikirkannya berulang kali. Dan kuputuskan aku harus berkata jujur padamu. Kuharap ini tak membuat bertambah buruk." Mili berdehem
"baiklah, aku tahu kau benar-benar mencintaiku. Tapi jika kau berharap bahwa aku juga mencintaimu, kau salah. Aku hanya menyukaimu karena kau banyak berbuat baik padaku. Dan pada dasarnya kau memang baik kepada siapapun. Dan aku juga ingin kau tahu bahwa cintaku sudah ada jauh diluar sana. Dia orang baik juga. Dan dia juga selalu memberiku perhatian yang lebih. Aku sangat mencintainya. Jadi, aku sangat meminta ma'af padamu jika aku mengecewakanmu. Kuharap kau tak membenciku." air mata mengalir di pipinya yang putih bersih saat Mili mengakhiri kata-katanya.
Sudiono terdiam sesaat, tersenyum, lalu mulai berbicara. "membencimu??? Tak akan pernah. Sudah kubilang aku sangat mencintaimu. Dan aku selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. Jika dia yang jauh diluar sana sangat membuatmu bahagia, aku pun akan bahagia."
Semuanya terdiam setelah itu. Keheningan kembali datang. Mili merapikan pakaiannya.
"yang aku bawa dan kuletakkan diatas mejamu ini pisang kepok goreng, kudengar kau sangat menyukainya. Dan dokter bilang tak apa bila saat ini kau memakannya. Semoga kau mau memerimanya." Mili membuka bingkisan yang dibawanya tadi itu.
Dengan cepat Sudiono mengambil satu pisang goreng dan memasukkannya ke mulutnya. "hhhhmmmff,,, enyak fekali. fewima hasih. Afu nyangat menyukainya." Katanya kurang jelas sambil tersenyum meskipun mulutnya masih penuh oleh pisang.
"syukurlah, aku senang kau menerimanya. Baiklah, aku harus kembali sekarang. Semoga cepat sembuh." Mili berdiri dan berbalik berjalan menuju keluar kamar Sudiono. Dia berpapasan denganku saat diluar sambil mengusap matanya yang merah oleh tangis yang tertahan. 
Aku berada diluar dari tadi mendengar semuanya. Sebetulnya aku hampir masuk juga saat kulihat dari celah pintu yang terbuka sedikit yang berada didalam adalah Mili. Sudah bukan rahasia, aku pun tahu bahwa Sudiono sangat mencintai Mili. Dan kurasa aku harus membiarkan mereka berdua. Setelah melihat Mili menghilang di belokan, aku masuk ke kamar Sudiono. Dia hanya terdiam tak menyadari kehadiranku hingga kusapa dia. Aku tahu yang dirasakannya. Dia temanku sejak berada di bangku TK. sejak saat itu dia selalu satu sekolah denganku. Sampai sekarang, di sekolah ini. Di sekolah yang tak pernah terpikirkan oleh kami sekalipun akan dapat kami masuki. Sekolah berasrama terbaik menurut kami.
"aku mendengar semuanya." kataku pada Sudiono.
Sudiono hanya tersenyum tipis. Aku tak percaya dengan yang dikatakannya. Maksudku tentang dia merasa bahagia jika Mili  bersama orang lain. Seperti yang kubilang tadi. Aku sudah bersamanya sejak lama. Aku tahu benar dia. Dia selalu berusaha mempercayai ungkapan "cinta tak harus memiliki.". Dan kenyataannya dia tak pernah berhasil mempercayainya. Aku tahu hatinya saat ini sangat hancur. Tak ada wanita lain di hatinya. Dan kenyataan tak bisa memilikinya pasti membuatnya kacau.
"kau masih saja berbohong dengan dirimu sendiri. Jika kau membutuhkanku, panggil saja aku. Aku akan siap setiap saat membantumu." Sudiono masih terdiam.
Aku meninggalkannya sendiri. Aku tak ingin dia berbuat buruk. Jadi kutawarkan bantuanku padanya. Kusempatkan melihat lagi dia sebelum benar-benar pergi. Dan dia masih terdiam dengan tatapan kosong. Kurapatkan pintu, dan melangkah kembali ke kelas.

0 komentar:

Posting Komentar